Aku masih saja
terdiam. Membisu. Kuihat lagi pahatan huruf demi huruf pada batu nisan itu. Hm,
sudah 5 tahun yang lalu. Padahal rasanya baru kemarin kulihat tawa itu pada
wajahnya yang teduh. Tak terasa waktu ternyata berjalan begitu cepat. Radit
sayang, besok aku sudah kelas 3 SMA. Kukatakan dengan lembut pada gundukan
tanah di depanku. Kubersihkan bunga-bunga kamboja yang telah layu yang
berjatuhan di atas peraduannya. Kulihat pohon rindangnya meneduhi makam
sahabatku itu. Hm, kamboja putih lagi. Kubereskan keranjang bunga yang kubawa
sambil memanjatkan doa terakhir sebelum aku pergi meninggalkan pemakaman
itu.
Aku sengaja tidak
mempercepat langkahku meskipun matahari telah semakin menghilang di ufuk
barat. Menikmati suasana senja adalah salah satu kebiasaan favorit Radit yang
kini telah menjadi kegemaranku juga. Senja hari yang damai sama seperti
pribadinya yang tenang dan menyejukkan. Rindu rasanya bila teringat semua
kenangan bersamanya. Kami telah bersama sejak masih di taman kanak-kanak dan berlanjut
hingga ke sekolah dasar. Aku kembali tersenyum mengingat kekonyolan-kekonyolan
kami di masa itu. Hormat bendera karena terlambat upacara, memanjat pohon
mangga tetangga, dikejar anjing penjaga, hingga bersembunyi di comberan pernah
kualami bersamanya. Benar-benar masa yang menyenangkan dan tanpa beban. Ingin
rasanya kembali ke masa itu. Yah, tapi hal itu adalah masa lalu yang tak
mungkin kembali lagi. Karena kita selalu hidup untuk masa depan. Aku telah
sampai di gerbang keluar pemakaman. Kulihat lagi peraduan terakhir sahabatku
yang terletak pada areal makam bagian belakang yang sedikit membukit. Hanya
tampak pohon kamboja putih disana yang kutahu dengan pasti tepat dibawahnyalah
sahabatku itu tengah tertidur lelap.
Bulan telah
menampakkan dirinya ketika mobilku memasuki pekarangan rumah. Lampu depan telah
menyala. Ayah dan Bunda pasti sudah datang, pikirku. Segera kumasukkan mobil ke dalam garasi dan
berlari-lari kecil ke dalam rumah. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu
dengan mereka.
“Ayah…. Bunda….. sudah pulang?” panggilku sambil memasuki ruang tamu.
“Ayah…. Bunda….. sudah pulang?” panggilku sambil memasuki ruang tamu.
“Halo, sayang! Ini dia
putri ayah yang paling cantik sedunia, baru pulang rupanya,” sambut ayah seraya
memelukku lembut.
“Iya, dari sore udah
Bunda cariin. Darimana aja sih sayang? Bunda khawatir, nih! Pulang-pulang dari
Surabaya kamu malah gak ada di rumah,” Bunda baru muncul dari dalam dan
langsung berceloteh panjang lebar.
“Iya, Bun. Maaf, tadi
Shella baru dari makam Radit. Shella gak tahu kalau Ayah sama Bunda pulang hari
ini. Kan sms Bunda kemarin rencananya baru pulang besok pagi,” kusalami Bunda
yang disambut degan ciuman pipi kanan dan kiri olehnya.
“Iya, rencana awalnya
seperti itu. Tapi Bunda sudah khawatir gitu sama Shella sendirian di rumah,
akhirnya Ayah mutusin langsung ambil penerbangan siang tadi dari Surabaya.
Mendadak juga, jadi belum sempat beritahu Shella juga,”
“Oh, gitu. Yaudah Ayah
sama Bunda pasti masih capek. Udah makan malam belum, Bun?”
“Ya belumlah, sayang.
Daritadi Bunda nungguin kamu. Udah gitu handphone gak kamu bawa lagi, jadi
tambah bingung gimana ngehubungin kamunya,”
“Hehe.. iya maaf, Bun.
Ketinggalan tadi. Nah, kebetulah Shella juga belum makan. Gimana kalo malam ini
Shella yang masakin makan malamnya? Ayo, Ayah Bunda langsung ke ruang makan aja ya!
Shella kokinya malam ini,”
Kami bertiga langsung menuju ruang makan. Aku segera
mengambilalih kendali dan menjadi koki dadakan malam itu. Karena kemampuanku yang
pas-pasan soal masak-memasak, akhirnya Bunda memaksa untuk ikut membantu daripada hanya menunggu
eksperimen dari koki abal-abal sepertiku. Berkat bantuan Bunda menu
makan malam pun dapat diselamatkan. Kami pun menikmati makan malam yang
menyenangkan di pekarangan belakang ditemani sang bulan yang malu-malu
bersembunyi di balik awan.bersambung...