Pages

Jumat, 03 Agustus 2012

Aku dan Kamboja Putih (Cerbung)

PART 1

Aku masih saja terdiam. Membisu. Kuihat lagi pahatan huruf demi huruf pada batu nisan itu. Hm, sudah 5 tahun yang lalu. Padahal rasanya baru kemarin kulihat tawa itu pada wajahnya yang teduh. Tak terasa waktu ternyata berjalan begitu cepat. Radit sayang, besok aku sudah kelas 3 SMA. Kukatakan dengan lembut pada gundukan tanah di depanku. Kubersihkan bunga-bunga kamboja yang telah layu yang berjatuhan di atas peraduannya. Kulihat pohon rindangnya meneduhi makam sahabatku itu. Hm, kamboja putih lagi. Kubereskan keranjang bunga yang kubawa sambil memanjatkan doa terakhir sebelum aku pergi meninggalkan pemakaman itu.
Aku sengaja tidak mempercepat langkahku meskipun matahari telah semakin menghilang di ufuk barat. Menikmati suasana senja adalah salah satu kebiasaan favorit Radit yang kini telah menjadi kegemaranku juga. Senja hari yang damai sama seperti pribadinya yang tenang dan menyejukkan. Rindu rasanya bila teringat semua kenangan bersamanya. Kami telah bersama sejak masih di taman kanak-kanak dan berlanjut hingga ke sekolah dasar. Aku kembali tersenyum mengingat kekonyolan-kekonyolan kami di masa itu. Hormat bendera karena terlambat upacara, memanjat pohon mangga tetangga, dikejar anjing penjaga, hingga bersembunyi di comberan pernah kualami bersamanya. Benar-benar masa yang menyenangkan dan tanpa beban. Ingin rasanya kembali ke masa itu. Yah, tapi hal itu adalah masa lalu yang tak mungkin kembali lagi. Karena kita selalu hidup untuk masa depan. Aku telah sampai di gerbang keluar pemakaman. Kulihat lagi peraduan terakhir sahabatku yang terletak pada areal makam bagian belakang yang sedikit membukit. Hanya tampak pohon kamboja putih disana yang kutahu dengan pasti tepat dibawahnyalah sahabatku itu tengah tertidur lelap.
Bulan telah menampakkan dirinya ketika mobilku memasuki pekarangan rumah. Lampu depan telah menyala. Ayah dan Bunda pasti sudah datang, pikirku.  Segera kumasukkan mobil ke dalam garasi dan berlari-lari kecil ke dalam rumah. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan mereka.
                “Ayah…. Bunda….. sudah pulang?” panggilku sambil memasuki ruang tamu.
“Halo, sayang! Ini dia putri ayah yang paling cantik sedunia, baru pulang rupanya,” sambut ayah seraya memelukku lembut.
“Iya, dari sore udah Bunda cariin. Darimana aja sih sayang? Bunda khawatir, nih! Pulang-pulang dari Surabaya kamu malah gak ada di rumah,” Bunda baru muncul dari dalam dan langsung berceloteh panjang lebar.
“Iya, Bun. Maaf, tadi Shella baru dari makam Radit. Shella gak tahu kalau Ayah sama Bunda pulang hari ini. Kan sms Bunda kemarin rencananya baru pulang besok pagi,” kusalami Bunda yang disambut degan ciuman pipi kanan dan kiri olehnya.
“Iya, rencana awalnya seperti itu. Tapi Bunda sudah khawatir gitu sama Shella sendirian di rumah, akhirnya Ayah mutusin langsung ambil penerbangan siang tadi dari Surabaya. Mendadak juga, jadi belum sempat beritahu Shella juga,”
“Oh, gitu. Yaudah Ayah sama Bunda pasti masih capek. Udah makan malam belum, Bun?”
“Ya belumlah, sayang. Daritadi Bunda nungguin kamu. Udah gitu handphone gak kamu bawa lagi, jadi tambah bingung gimana ngehubungin kamunya,”
“Hehe.. iya maaf, Bun. Ketinggalan tadi. Nah, kebetulah Shella juga belum makan. Gimana kalo malam ini Shella yang masakin makan malamnya? Ayo, Ayah Bunda langsung ke ruang makan aja ya! Shella kokinya malam ini,”
Kami bertiga langsung menuju ruang makan. Aku segera mengambilalih kendali dan menjadi koki dadakan malam itu. Karena kemampuanku yang pas-pasan soal masak-memasak, akhirnya Bunda memaksa untuk ikut membantu daripada hanya menunggu eksperimen dari koki abal-abal sepertiku. Berkat bantuan Bunda menu makan malam pun dapat diselamatkan. Kami pun menikmati makan malam yang menyenangkan di pekarangan belakang ditemani sang bulan yang malu-malu bersembunyi di balik awan.

bersambung...