Pages

Kamis, 16 Agustus 2012

Aku dan Kamboja Putih (cerbung)

PART 2

  Hari masih sangat pagi, ketika kujejakkan kaki di pekarangan sekolah. Masih sepi. Baru beberapa siswa dan guru-guru yang rajin yang tiba di sekolah pada jam sepagi ini. Dalam kategori itu tidak termasuk aku tentunya, hehe. Jika bukan karena titipan tugas untuk menempel pengumuman di mading sekolah, bisa dipastikan pada jam ini aku masih berada di balik bantal-bantal kesayanganku. Hufh, kenapa juga harus aku yang diberi tugas oleh Bu Ranti. Guru killer itu, ya ampun mengingatnya saja sudah meriding kudukku. Tapi, tak apalah. Lumayan bisa menikmati suasana pagi yang sejuk di sekolah. Aku berjalan melewati lapangan basket outdoor. Tampak siswa-siswa tim basket sedang latihan pagi untuk persiapan lomba bulan depan. Beberapa berlatih shoot, ada yang hanya medrible bola, dan sebagian besar yang telah selesai latihan terlihat sedang istirahat. Rajin sekali mereka, sudah berlatih pagi-pagi begini. Sepertinya menyenangkan jika bisa bermain basket seperti mereka. Pasti keren sekali rasanya, pikiranku mulai membayangkan diriku berada dalam sebuah turnamen basket sedang membawa bola pantul itu melewati lawan-lawan berbadan tinggi besar, hingga tiba di ujung lapangan, lalu melakukan lay up dan sesaat bola berputar-putar dalam ring, lalu ... BLUSH! Masuk! Dua poin untuk nomor punggung 7 Marcella Putri. Ini dia MVP kita pada turnamen kali ini. Senyumanku terkembang membayangkan hal itu. Yah, andai saja kenyataan bisa semudah khayalan. Back to the reality, Shella. Yah, aku memang bukan seorang atlet. Satu-satunya jenis olahraga yang aku bisa hanyalah jogging. Yah, dengan kecepatan super pelan tentunya yang mungkin lebih tepat dideskripsikan sebagai berjalan sedikit cepat daripada jogging itu sendiri. Hehe.

  Kelas masih lengang ketika aku memasukinya. Belum ada satu tas pun yang tergeletak di meja. Berarti belum ada yang datang, pikirku. Tapi, tunggu dulu. Benda apa itu di atas mejaku? Segera aku menuju ke tempat dudukku. Deret ketiga dari pintu dan meja kedua dari baris depan. Hem, surat? Lagi? Ya Tuhan, sebenarnya siapa sih orang ini. Kenapa dia selalu mengirim surat tanpa nama di pagi buta dengan menyertakan setangkai bunga kam-bo-ja?? Memangnya aku orang mati? Kenapa bukan mawar merah yang biasanya dikirimkan seorang pangagum rahasia kepada sosok yang disukainya? Seperti di dalam film-film atau serial drama. Kenapa harus bunga kamboja yang kebanyakan ada di pemakaman? Atau sekalian tidak perlu ada bunga sajalah. Argh, kesal juga lama-kelamaan, gerutuku dalam hati.
  "Sepertinya ada yang mengerjaiku, nih. Awas saja sampai aku tahu orangnya! Huuuh, kesel banget!" omelku seorang diri. "Oh, iya kali ini isi suratnya apa ya?" Segera kubuka amplop pembungkusnya dan kubaca perlahan isinya.

Dear Shella,

Hari ketika kau termangu
Hari dimana air mata itu menetes
Hari ketika aku tak sanggup tuk menghiburmu
Ketika aku hanya bisa melihatmu dari jarak yang tak mampu kutembus
Jarak waktu dan perbedaan antara duniamu dan duniaku
Rasanya ingin aku memelukmu
Menghapus setiap butiran air mata itu
Kembali membelai lembut tiap helai rambutmu
Tapi maaf...
Aku tak mampu...
Aku tak sanggup...
Maaf karena hanya bisa menatapmu..
Kuharap kau dapat selalu tersenyum
Senyuman yang mampu membuat hidupku seakan kembali
Seakan tak ada yang hilang dan aku dapat kembali..
Suatu saat nanti..
Kembali menatap senyuman itu dalam pesona wajahmu..
Layaknya kamboja putih itu..
Bunga keabadian.. dalam duniaku dan duniamu..

(aku yang selalu abadi dalam hari-harimu)


  "Apa-apaan ini? Ya ampun, sepertinya salah kirim deh surat ini. Kok kayak surat dari orang mati sih?Iiihhh... gak gak mungkin!" bulu kudukku seakan berdiri melihat bunga kamboja itu lagi. "Bunga keabadian?Oh, ya ampun! Siapa yang ngirim surat iseng ini!" teriakku kesal. Satu-persatu siswa berdatangan, kelas mulai ramai. Dan datanglah kedua teman baikku, Savina Felicia dan Mentari Ayu. Kuceritakan segala hal tentang surat aneh yang telah datang pagi itu. Hingga ...
  "Teetteeteeett!!" bel masuk pun berbunyi. Beberapa saat aku termangu. Sepertinya ada sesuatu yang terlupakan. Bukan hal remeh sepertinya. Tanpa sadar jantungku mulai berdebar cepat dan otakku menampilkan kilasan-kilasan kejadian tempo hari. Daaaannnnnn....
  "Astagaaaa!! Aku lupa belum menempel tugas Bu Ranti!!!" sekejap kepalaku berputar membayangkan apa yang harus kuhadapi karena telah melupakan tugas maha penting pagi itu dan tiba-tiba segalanya gelap.
  "Shella, shella?"

bersambung ...

Senin, 06 Agustus 2012

Pada Ujung Jalan Itu

Malam masih menggelayut
Tak rela mentari terjaga dari peraduannya
Dirimu terlelap
Masih terlelap
Lelah berjumpa dunia
Letih berdamai dengan logika
Rapuh akui potret kisah
Kisah klasik yang terangkai
Terlanjur basi
Terlampau putus asa tuk sekedar berharap
Bahkan untuk sekedar bermimpi
Memimpikan impian-impian semu
Apa untungnya?
Apa manfaatnya?
Tanya yang kau biarkan tanpa jawabnya
Padahal disana selalu ada
Selalu menunggu
Pada ujung jalan yang benderang itu
Untukmu ...
Yang selalu percaya

Jumat, 03 Agustus 2012

Aku dan Kamboja Putih (Cerbung)

PART 1

Aku masih saja terdiam. Membisu. Kuihat lagi pahatan huruf demi huruf pada batu nisan itu. Hm, sudah 5 tahun yang lalu. Padahal rasanya baru kemarin kulihat tawa itu pada wajahnya yang teduh. Tak terasa waktu ternyata berjalan begitu cepat. Radit sayang, besok aku sudah kelas 3 SMA. Kukatakan dengan lembut pada gundukan tanah di depanku. Kubersihkan bunga-bunga kamboja yang telah layu yang berjatuhan di atas peraduannya. Kulihat pohon rindangnya meneduhi makam sahabatku itu. Hm, kamboja putih lagi. Kubereskan keranjang bunga yang kubawa sambil memanjatkan doa terakhir sebelum aku pergi meninggalkan pemakaman itu.
Aku sengaja tidak mempercepat langkahku meskipun matahari telah semakin menghilang di ufuk barat. Menikmati suasana senja adalah salah satu kebiasaan favorit Radit yang kini telah menjadi kegemaranku juga. Senja hari yang damai sama seperti pribadinya yang tenang dan menyejukkan. Rindu rasanya bila teringat semua kenangan bersamanya. Kami telah bersama sejak masih di taman kanak-kanak dan berlanjut hingga ke sekolah dasar. Aku kembali tersenyum mengingat kekonyolan-kekonyolan kami di masa itu. Hormat bendera karena terlambat upacara, memanjat pohon mangga tetangga, dikejar anjing penjaga, hingga bersembunyi di comberan pernah kualami bersamanya. Benar-benar masa yang menyenangkan dan tanpa beban. Ingin rasanya kembali ke masa itu. Yah, tapi hal itu adalah masa lalu yang tak mungkin kembali lagi. Karena kita selalu hidup untuk masa depan. Aku telah sampai di gerbang keluar pemakaman. Kulihat lagi peraduan terakhir sahabatku yang terletak pada areal makam bagian belakang yang sedikit membukit. Hanya tampak pohon kamboja putih disana yang kutahu dengan pasti tepat dibawahnyalah sahabatku itu tengah tertidur lelap.
Bulan telah menampakkan dirinya ketika mobilku memasuki pekarangan rumah. Lampu depan telah menyala. Ayah dan Bunda pasti sudah datang, pikirku.  Segera kumasukkan mobil ke dalam garasi dan berlari-lari kecil ke dalam rumah. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan mereka.
                “Ayah…. Bunda….. sudah pulang?” panggilku sambil memasuki ruang tamu.
“Halo, sayang! Ini dia putri ayah yang paling cantik sedunia, baru pulang rupanya,” sambut ayah seraya memelukku lembut.
“Iya, dari sore udah Bunda cariin. Darimana aja sih sayang? Bunda khawatir, nih! Pulang-pulang dari Surabaya kamu malah gak ada di rumah,” Bunda baru muncul dari dalam dan langsung berceloteh panjang lebar.
“Iya, Bun. Maaf, tadi Shella baru dari makam Radit. Shella gak tahu kalau Ayah sama Bunda pulang hari ini. Kan sms Bunda kemarin rencananya baru pulang besok pagi,” kusalami Bunda yang disambut degan ciuman pipi kanan dan kiri olehnya.
“Iya, rencana awalnya seperti itu. Tapi Bunda sudah khawatir gitu sama Shella sendirian di rumah, akhirnya Ayah mutusin langsung ambil penerbangan siang tadi dari Surabaya. Mendadak juga, jadi belum sempat beritahu Shella juga,”
“Oh, gitu. Yaudah Ayah sama Bunda pasti masih capek. Udah makan malam belum, Bun?”
“Ya belumlah, sayang. Daritadi Bunda nungguin kamu. Udah gitu handphone gak kamu bawa lagi, jadi tambah bingung gimana ngehubungin kamunya,”
“Hehe.. iya maaf, Bun. Ketinggalan tadi. Nah, kebetulah Shella juga belum makan. Gimana kalo malam ini Shella yang masakin makan malamnya? Ayo, Ayah Bunda langsung ke ruang makan aja ya! Shella kokinya malam ini,”
Kami bertiga langsung menuju ruang makan. Aku segera mengambilalih kendali dan menjadi koki dadakan malam itu. Karena kemampuanku yang pas-pasan soal masak-memasak, akhirnya Bunda memaksa untuk ikut membantu daripada hanya menunggu eksperimen dari koki abal-abal sepertiku. Berkat bantuan Bunda menu makan malam pun dapat diselamatkan. Kami pun menikmati makan malam yang menyenangkan di pekarangan belakang ditemani sang bulan yang malu-malu bersembunyi di balik awan.

bersambung...